Judge The Book By Its Cover #1

11/05/2016 0 Comments A+ a-

A: “Maaf, atas sikapku yang dulu, saat itu aku tak tahu apa yang sebenarnya kamu alami.”
B: “Bukan salahmu. Aku lah yang salah karena aku lah yang tidak pernah mengatakan apa-apa padamu. Maka sangat wajar saat itu kamu sama sekali tidak mengerti apa yang aku alami.”

Kira-kira dialog yang semacam di atas yang pernah saya baca dalam komik “Moonlight Night” lebih dari 10 tahun yang lalu. Dialog kecil inilah yang memulai perjalanan saya untuk berpikir tentang apa yang dikatakan si B.

Jadi, si A dan si kawan-kawannya ini punya prasangka buruk pada si B karena si B bersikap tidak sama dengan orang pada umumnya dan tidak sesuai dengan “harapan” mereka. Saat itu saya tidak mengerti, bagi saya saat itu harusnya A dan teman-temannya lah yang salah. Harusnya mereka tidak serta merta men-judge si B, padahal mereka tidak tahu apapun tentangnya selain dugaan-dugaan mereka yang tak berdasar. Tapi, kenapa si B malah meminta maaf? Memang sih, respon B itu sama sekali bukan respon yang buruk, pasti banyak orang bilang itu sangat baik. Hanya saja saya tidak mengerti kenapa B bisa merespon demikian.

Butuh waktu yang sangat lama buat saya memahami arti dari kata-kata yang disampaikan si B dan kenapa dia berkata demikian. Mungkin respon saya yang terlalu rumit memikirkan dialog di komik semacam ini bakal terasa aneh bagi sebagian orang, karena B cuman tokoh fiksi yang kata-katanya bisa dikarang oleh si pengarang sesuka hatinya. Bisa dibilang saya termasuk orang yang sering merasa disalahpahami oleh orang lain. Mungkin karena itulah saya jadi berempati pada si B. Dan bagi saya, si pengarang pun pasti punya pendapat tertentu yang ia ingin tunjukkan lewat respon si B. Karena itulah, saya ingin mengerti mengapa si pengarang membuat si B merespon demikian terhadap orang-orang yang dulunya telah salah paham padanya.

Tapi, berbeda dengan si B, dulu saya justru merasa saya sama sekali tidak salah atas kesalahpahaman itu. Bagi saya saat itu, kesalahpahaman itu adalah salah orang lain yang cenderung membuat dugaan-dugaan tak berdasar dan liar layaknya kebenaran daripada bertanya dan berusaha memahami orang yang bersangkutan.  

 “Don’t Judge The Book by Its Cover”

Itu adalah peribahasa populer yang sering kita dengar. Dulu, saya sangat sepakat dengan peribahasa di atas. Karena bagi saya perbuatan menilai seseorang hanya berdasarkan apa yang terlihat adalah salah, karena penilaian yang demikian sudah hampir tentu hanya menghasilkan kesimpulan dini – yang biasanya memang terlalu dini. Dan sebagai orang yang juga sering mendapat penilaian yang demikian, saya sangat kesal saat ada orang yang menilai orang hanya dari “sampulnya” saja.


Saat itu saya hanya memandang masalah ini dari sudut pandang saya, orang yang merasa dinilai oleh orang lain hanya dari “sampulnya” saja. Saya sama sekali tidak memandang pernyataan ini dari sisi penilai, karena mungkin bagi saya saat itu sudah cukup karena kata-kata ini telah membuat saya nyaman dengan diri saya dan puas karena adanya kesalahpahaman yang semacam itu bukanlah salah saya.

Tapi saat saya memikirkan kembali tentang hal ini dan memahami konsekuensi dari tuntutan saya terhadap orang yang menilai saya, saya menyadari bahwa tuntutan saya sebenarnya adalah tuntutan yang tidak realistis, bahkan sebenarnya itu menunjukkan keegoisan saya. Padahal saya tidak suka saat saya menuntut hal yang egois, apalagi itu adalah tuntutan yang tidak realistis untuk dilakukan. Berkat kesadaran ini, saya jadi memandang permasalahan soal "judge" ini lebih luas dan belajar untuk bertanggung jawab terhadap diri saya sendiri, atau paling tidak lebih konsekuen terhadap pilihan saya yang terkait dengan masalah ini.

Setelah memahami permasalahan ini lebih dalam, saya jadi paham mengapa si B berkata demikian. Saya kira, si B paham betul konsekuensi dari apa yang dilakukannya terdahulu dan ia rela menanggungnya karena telah memilih apa yang telah ia lakukan.

Penyadaran itulah yang menuntun saya untuk menuliskan posting tentang "Judge The Book by Its Cover" ini, kalimat yang justru bermakna kebalikan dari peribahasa populer. Mengapa saya justru menuliskan demikian? Apakah ini artinya saya menyarankan agar orang-orang men-judge dari cover?

Alasannya akan kita bahas dalam postingan selanjutnya.

Mari bercuap-cuap :D